Monday, 1 June 2009

AFTER THE PARTY

“Mas! Bangun, Mas! Sudah siang, nih!”
Aku menggeliat panjang dalam selimut. Kepalaku terasa pening seperti akan meledak. Seluruh tulang punggungku bergemeretak. Dengan malas kubuka mata yang silau oleh sinar matahari pagi yang ternyata telah melongok dari jendela sebelah kiri tempat tidurku.
“Aku pergi dulu, ya?” Kudapati asal suara itu tengah berdiri membelakangiku di depan cermin besar yang menempel di ujung lain kamar itu.
“Ambilkan aku obat sakit kepala dulu!” pintaku seraya menarik diri untuk sekedar bersandar di atas bantal.
“Ada di nampan sarapan di samping Mas.” Jawabnya tanpa menoleh.
“ Tadi sudah aku pesankan pada room service waktu Mas masih tidur.” jelasnya.
“Mau kerja lagi?” tanyaku sambil memungut dua butir aspirin dari nampan yang dia maksud. Dengan gerakan cepat aku tenggak dan kugelontor dengan setengah gelas air putih yang tersedia di tempat yang sama.
“Bukannya ini masih liburan? ‘Kan masih tahun baru?” aku melanjutkan. Dari belakang aku hanya bisa melihat rambut panjang hitamnya terurai tak karuan dan kulit bahunya yang halus kuning langsat. Tank top dan rok mini hitamnya memamerkan posturnya yang tinggi semampai dan padat.
“Yang libur hari ini ‘kan yang kerja kantoran.” Dia membalikkan badan dan memandangku tegap. Aku baru tersadar betapa cantiknya dia. Wajahnya bersih meski tidak terlalu putih. Eksotik, kata orang. Matanya bercahaya indah, hidungnya mungil dan ramping, bibirnya tidak terlalu tebal dengan rona pink alami. Dengan segera peningku mereda. Bukan karena pil-pil tadi, tapi lebih karena aku tengah menikmati kecantikan dan keindahannya.
“Kalau buat aku dan teman-teman yang lain, liburan artinya waktu untuk kerja keras. Mas ‘kan harusnya tahu itu!” Dia melangkah ke tempat tidur. Dari tepi tempat tidur, dia mendekatkan wajahnya padaku. Senyumnya merekah manja.
“Masa liburan seperti ini, tamu-tamu kami jadi semakin banyak. Mas bisa mengerti itu, ‘kan?” semakin dalam dia mendekat. Kali ini ke arah telinga kiriku.
“Mas semalam memang sulit sekali dijinakkan!’ bisiknya.
Belum lagi aku memahami apa maksud bisikannya, sebuah gigitan lembut menyambar leherku dan membuatku mengerang karena geli. Sesaat kemudian kamipun berguling-guling di tempat tidur. Namun itu tidak berlangsung lama karena secepat dia memberikan gigitannya, secepat itu pula dia menarik diri dari rengkuhanku.
“Sudah, Mas!” sergahnya seraya kembali berdiri dan beranjak dari tempat tidur.
“ Kalau masih pingin lagi, nanti malam saja! Mas tahu dimana harus mencari saya, ‘kan?” dia merlangkah ke pintu kamar. Sejenak dia terhenti untuk memungut jaket dan sepatu yang teronggok di lantai depan pintu. Sambil melangkah tertatih dia berjuang untuk mengenakan sepatunya. Sebuah bantingan di pintu mengiringi kepergiannya.
Pening kembali menghantam kepalaku. Belum lagi kugenapkan ingatanku atas apa yang kualami tadi malam, suara ringtone handphone memburuku. Kuarahkan pandangan ke seluruh ruangan, tak juga kudapati benda asal suara itu. Tanganku meraba-raba dan meraih sesuatu di balik selimut yang sedari tadi menutupi tubuhku. Setelah pencarian panjang, akhirnya kutemukan juga handset yang telah mengelitiki punggungku dengan getarannya.
“Donita?” bisikku pada diriku sendiri saat membaca ID si penelepon di layar handset itu. Dengan segera kutekan tombol jawab dan kuarahkan speakernya ke telingaku . . .
“ . . . Mas Har! Sampiyan semalam kemana saja? Pesta di diskotek mana? Nginap di hotel mana? Tidur sama siapa? . . . “ teriakan dari ujung lain.
‘ . . . Kau anggap aku ini apa? Bukannya bulan depan kita mau nikah, Mas . . ?”

Mantup, 01-01-2008
B@dB0y

No comments :

Post a Comment