Monday, 1 June 2009

BENING

BENING
Aku masih saja sembunyi di balik selimutku, meski adzan Shubuh menerobos telingaku. Aku juga masih mencoba memejamkan mata meski aku tak juga bisa tidur. Hatiku perih teriris-iris. Mata sembab dan masih kutahan umpatan yang tak sempat keluar itu.
“Brengsek! maunya apa tu orang?” batinku menjerit entah pada siapa.
“Olga……! Olga…….!”
Suara Desy teman sekamarku berusaha membangunkanku. Tubuhku terguncang-guncang. Kurasakan basah menembus baju tidurku yang tipis. Apa Desy tidak kedinginan sepagi ini sudah mandi? Itu hanya pikirku saja.
“Biarin aja lah, Mbak Des!” suara Twiky, teman sekamarku yang lain. “Lha wong dia sudah gedhe, mestinya sudah tahu yang namanya kewajiban dan tanggung jawab.” Kudengar lamat-lamat suara langkah kaki keluar kamar.
“Cepat bangun!” suara Desy lembut. Dia masih duduk di ranjangku. Aku makin meringkuk dalam selimutku. Desy masih berusaha mengatakan sesuatu tapi tak kudengar dengan jelas. Aku kembali hanyut dalam mimpi.

Sepi. Semuanya telah berangkat lari pagi. Tinggal aku sendiri dalam kos-kosan kapasitas empat kamar itu. Sebenarnya kamar-kamarnya tidak begitu besar, tapi masih cukup untuk menampung tiga sampai empat orang di setiap kamar.
Suasana kekeluargaan selalu mewarnai kehidupan kami para penghuni kos-kosan. Maklum kami semua perempuan. Mungkin karena itulah kami biasa melakukan banyak hal bersama, baik dengan teman sekamar ataupun dengan penghuni kamar yang lain. Kami biasa berkumpul dan bercanda bersama, serta ngrumpi bareng di ruang tamu atau di salah satu kamar. Kami juga biasa jogging bersama di lapangan kota sambil menggoda cowok-cowok yang kebetulan jogging juga di sana. Tapi pagi itu aku tak berselera. Aku hanya melingkar di tempat tidurku.

Jam delapan baru lewat sedikit. Kudengar suara ketukan di pintu depan. Dengan malas aku bangun untuk melihat siapa yang datang. Suasana kos-kosan masih sepi. Rupanya teman-teman yang lain belum pulang. Maklum, hari ini hari Minggu. Mereka biasanya baru pulang jam sepuluhan.
Tanpa mencuci muka terlebih dahulu, aku melangkah ke pintu depan sambil mengira-ngira siapa yang bertamu.
“Essstth..” pintu terbuka dengan lesu selesu hatiku. Willy berdiri di depanku dengan sesungging senyuman. Dia teman seniorku dan juga Desy. Kami sama-sama sekolah di sebuah sekolah swasta yang, kalau boleh dikata, bernuansa agamis. Sayang, cowok dengan kualitas seperti dia harus belajar di sekolah ranking sekian di kota ini. Sebenarnya dia masih mumpuni kalau harus sekolah di institusi favorit kota. Selain dia sangat cerdas dan punya semangat belajar tinggi, perawakannya juga tegap dan gagah dengan wajah yang mendukung. Intinya, dia adalah cowok impian gadis manapun. Beruntunglah Desy. Willy telah menambatkan hati padanya.
“Pagi!” sapa Willy setelah pintu terbuka sepenuhnya.
“Pagi juga!” jawabku malas
“Baru bangun?”
“Ya.” Jawabku pelan, ”Ayo masuk!”
Willy mengambil duduk di sofa panjang di ruang tamu. Akupun menghenyakkan tubuhku, seolah berusaha membanting suatu beban yang menghimpit tubuhku dengan beratnya. Aku duduk bersandar di depan meja berseberangan dengan Willy. Aku menghela napas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya dengan suara berat.
“Kenapa? Ada masalah?”
“Aku belum gosok gigi.” jawaban gila! Kenapa aku bisa sebegitu tolol mengatakan hal memalukan itu? Meski aku tahu sebenarnya dia bukan sedang mencariku, tapi malu juga aku akan kekonyolanku. Dengan menahan malu aku segera bangkit dari dudukku dan meninggalkan Willy begitu saja menuju kamar mandi.
Tiba-tiba langkahku terhenti di tengah lorong sempit yang diapit kamar-kamar kos-kosan itu. Aku berpaling tanpa mencari wajah Willy. Ruang tamu tempat kosku itu memang jauh di depan. Ruangnya pun agak sempit karena ukuran furniturenya yang ekstra besar. Sementara itu mulut lorong kamarnya berada agak ke samping. Tak seorangpun yang mungkin bisa melihat apa yang terjadi di dalam lorong tanpa berdiri tepat di ujungnya.
“Oh ya!..” suaraku sedikit berteriak “…Desy keluar jogging. Tunggu saja! Sebentar lagi juga datang. Kalau mau kopi, es atau teh bikin saja sendiri. Aku mau nerusin tidurku.” Aku berbelok masuk ke kamarku di pintu ke dua di sebelah kananku. Aku mungkin sudah lupa kalau aku tadinya ingin ke kamar mandi.

Dalam aku meneruskan mimpi yang tiada indah setelah kedatangan Willy, sebuah hantaman sepatu mendarat tepat di ubun-ubunku.
“Brengsek!” sebuah umpatan membantuku mengais kesadaranku yang masih setengah-setengah.
“Heh! Kamu itu memang goblok, tolol atau benar-benar nggak tahu tata krama, sih? Ada tamu bukannya ditemui, malah dibiarkan berkeliaran seenaknya. Tahu tata karma nggak sih, Kamu?” ternyata hanya Twiky yang dengan bersungut-sungut melempar sepatunya yang sebelah lagi ke sudut kamar. Tubuhnya masih basah oleh keringat setelah jogging sepagian tadi. Kaos joggingnya pun masih basah dan mengeluarkan bau yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tidak menyenangkan.
Tapi aku tidak merasa kalau Desy juga sudah pulang. Atau mungkin dia masih menemui Willy di ruang tamu.
“Aku tahu kamu sedang ada masalah tapi itu bukan alasan untuk tidak memperhatikan hal-hal yang lain.” lanjutnya. “Lain kali jangan biarkan lagi tamu bikin minuman sendiri! Ngerti?” Twiky menjatuhkan diri duduk di tempat tidurku. Aku mencoba bangkit dan duduk di sebelahnya sambil mengusap-usap mataku yang sebenarnya tidak bermasalah.
“Kamu itu kenapa sih, Non? Pagi-pagi sudah jutek. Pakai bergaya seminar, sok menceramahi orang bangun tidur soal tata karma segala. Basi tahu nggak?” ujarku malas. “Kamu sendiri sadar nggak, kalau mukul kepala orang, apalagi pakai sepatu itu jauh lebih tidak sopan?” balasku.
“Biar!” ucapnya ketus.
Dengan kemalasan yang sama saat Willy datang, aku melangkah keluar kamar. Kususuri lorong menuju kamar mandi yang ada di sebelah kiri ujung paling belakang. Teman-teman kosku yang lain rupanya juga sudah pulang. Aku tak menyahut saat di antara mereka bertanya tentang keributan yang baru terjadi di kamarku.

Malam mulai beranjak gelap. Masih jam setengah tujuh. Adzan isya’ belum berkumandang. Hanya suara anak-anak remaja sebayaku, dan mungkin juga beberapa teman kosku, yang melantun merdu melagukan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sebenarnya tak pantas aku menyebut nama kitab suci itu karena aku sendiri jarang sekali memegangnya, apalagi membacanya dengan nyanyian semerdu suara yang tengah kudengar.
Entah kenapa tiba-tiba tubuhku terasa menggigil. Jikalau hanya karena air dingin bak mandi dimana aku kini tenggelam, tak mungkin sedingin ini. Mungkin karena hal lain. Tapi kucoba tenangkan hati dengan berpikir kalau aku kedinginan karena mandi terlalu malam.
Di depan cermin ukuran setengah meter kali setengah meter di dinding kanan kamar aku berdandan. Aku sudah mengenakan celana jeans yang kupadukan dengan T-shirt pink. Rambutku sengaja kubiarkan terurai hingga menutupi pundakku. Kusapu pipiku dengan sedikit bedak.
“Mau kemana?” peluk Desy dari belakang. Kadang itulah yang membuatku tahu kalau dia masih peduli padaku. Kulihat wajahnya di cermin. Dia terlihat sangat cantik meski tanpa make up sesaputpun. Dia masih mengenakan mukenanya yang sedari maghrib tadi dia pakai. Kilau jernih mukenanya semakin menambah kecantikan dan kedewasaannya meski sebenarnya dia masih satu sekolah dan satu kelas pula denganku. Mungkin itu pula yang membuat hati Willy luluh padanya.
“Aku mau pergi keluar. Aku ingin mencari ketenangan.” sambil terus kusapu wajahku dengan bedak .
“Tidak!...” Desy menggenggam kedua tanganku dan menatap wajahku di cermin. “…Ketenanganmu ada di sini, bukan di luar sana.” kurasakan hembusan nafasnya di telingaku. Aku tahu kalau dia ingin mencegahku untuk pergi.
“Aku tahu kalau kemarin malam kamu tidak bisa tidur. Aku dengar isakmu.” Desy terhenti menunggu reaksiku. Aku berhenti menyapu wajahku. Kutatap wajah Desy dalam cermin. Kulihat mimik serius dalam tatapannya.
“Olga…” dia beranjak untuk kemudian duduk di ranjang di tengah kamar, “…menangis dalam kesendirian bukan jalan keluar dalam menyelesaikan semua permasalahan. Apakah kau sudah melupakan aku? Melupakan Twiky?”
Aku berbalik untuk menatapnya dan memahami apa maksudnya. Namun seketika aku temukan wajahnya, aku tertunduk lesu seolah tak punya daya untuk membalas tatapannya yang lembut namun terasa begitu tajam menusukku. Desy, figure seorang kakak perempuan yang lama kurindukan karena sebenarnya aku memang tak punya kakak perempuan. Pada momen seperti inilah aku sering memimpikan kalau dia adalah kakak perempuanku sendiri. Namun mampukah aku menghadapinya untuk mempertanggung jawabkan semua kenakalanku selama ini sebagai seorang adik? Aku hanya mampu terdiam.
“Daripada kau pendam sendiri,…” Desy makin serius, “Twiky, apalagi aku sendiri sebagai seorang sahabat, tidak ingin kau menyiakan hidup dan kehidupanmu dengan meratapi masalah. Apalagi masalah itu sampi membuatmu lupa akan kewajibanmu.” jelas Desy. Aku menunduk semakin dalam.
Dengan tiba-tiba dan tanpa sadar tangisku telah menghambur dalam pangkuan Desy. Dengan lembut dia membelai rambutku.
“Aku telah dikhianati, Des.” Lirihku dalam tangis.
“Christ?” tanya Desy mencoba menebak.
“Ya.” kulepaskan pelukanku. Aku menengadah ke wajah Desy. Tangannya yang hangat menyentuh pipiku, menghapus air mataku.
“Christ mendekatiku cuma untuk taruhan dengan Troy.” Airmataku kembali leleh membasahi tangan Desy.
“Sudahlah…” Desy mencoba menenangkanku, “…Kesalahan ada pada dirimu dan pada Christ. Kamu itu terlalu mudah terbujuk rayuan gombal. Lain kali jangan mudah percaya dengan kata-kata manis pria. Mereka itu makhluk opportunis. Suka mencuri kesempatan dalam keadaan apapun.”
“Tapi,…” aku terisak “…bagaimana caramu bertahan dengan Willy? Jika memang cowok adalah makhluk rendahan?” aku berusaha protes.
“Kami bisa bertahan karena kami sudah saling pegang kunci masing-masing kepribadian. Willy terbuka dan memberiku kepercayaan, begitu pula sebaliknya.”
“Terus…” aku mencoba memahami penjelasannya, “…aku harus berbuat apa?” tanyaku.
“Untuk kasusmu, yang terpenting bukanlah meratapi jatuhnya dirimu, tapi seberapa cepat kau bangkit untuk melanjutkan hidupmu. Carilah pijakan yang lebih kokoh untuk dirimu berdiri.” Semakin dalam dia menatapku.
“Sekarang lebih baik kau lupakan Christ. Seandainya dia ingin memperolokmu lagi, jangan kau dengarkan. Anggap dia tengah memperingatkanmu akan kekuranganmu dan itu adalah salah satu cara mengkoreksi diri.” betapa dewasa petuahnya.
“Aku ingin membalaskan sakit hatiku ini, Des!” bisikku lirih.
“Jangan!” cegah Desy. “Maafkanlah Christ. Kelak dia sendiri akan merasakan karmanya. Yakinlah itu!” dari tatapannya, aku tahu kalau dia serius tentang ucapannya. Kata-kata Desy itu sedikit membuatku tenang. Isakku sedikit berkurang.
“Sekarang, sebaiknya kau jangan pergi kemana-mana dulu. Hapus bedakmu itu, yang mulai luntur karena tangismu.” Usapnya pada pipiku diiringi adzan Isya’. Suara pengajian remaja di musholla tetangga rupanya telah selesai.
Desy bangkit.
“Setelah itu kamu ganti baju dulu kemudian ambil wudlu. Kita sholat sama-sama.” Ajak Desy dengan lembut.
Selang belasan menit kemudian, aku telah duduk bersimpuh di lantai kamar dengan beralaskan karpet kecil yang kira-kira hanya cukup untuk diriku sendiri. Aku mengenakan pakaian putih yang disebut mukena. Di depanku, ada Desy dengan pakaian dan posisi duduk yang sama. Hening. Hanya suara Desy yang sedikit berbisik yang kudengar. Tangannya tengadah, seolah memohon akan sesuatu. Ya! Dia memohon pada Nya ampunan, petunjuk, kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi berbagai cobaan hidup. Tak lupa akupun mengikuti do’anya dengan menambahkan permohonan akan terang dan tenangnya bathinku.***

Ide : K. Lail
Pengembang : Al-Neza the Landax

Mantup, 2007

No comments :

Post a Comment